Thank you for using rssforward.com! This service has been made possible by all our customers.    In order to provide a sustainable, best of the breed RSS to Email experience,    we've chosen to keep this as a paid subscription service.    If you are satisfied with your free trial, please sign-up today.    Subscriptions without a plan would soon be removed.    Thank you!  
   Kejujuran  sebuah kata yang sangat sederhana tapi sekarang menjadi barang langka  dan sangat mahal harganya. Memang ketika kita merasa senang dan  segalanya berjalan lancar, mengamalkan kejujuran secara konsisten  tidaklah sulit, tetapi pada saat sebuah nilai kejujuran yang kita pegang  berbenturan dengan perasaan, kita mulai tergoncang apakah tetap  memegangnya, atau kita biarkan tergilas oleh keadaan. Sebuah kisah  kejujuran yang sangat menyentuh hati, dua orang anak kecil menjajakan  tisu di pinggir jalan. Membuat kita mesti belajar banyak tentang arti  sebuah kejujuran.
 Siang ini, tanpa sengaja, saya bertemu dua manusia super. Mereka  makhluk-makhluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di atas  jembatan penyeberangan Setia Budi, dua sosok kecil berumur kira-kira  delapan tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam. Saat  menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue di ujung  jembatan, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat  tangan lebar-lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh  mereka dengan ucapan, "Terima kasih Oom!" Saya masih tak menyadari  kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk  ke arah mereka.
 Kaki-kaki kecil mereka menjelajah lajur lain di atas jembatan, menyapa  seorang laki laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang  penuh keceriaan, laki-laki itu pun menolak dengan gaya yang sama dengan  saya, lagi-lagi sayup-sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari  mulut kecil mereka. Kantong hitam tempat stok tissue dagangan mereka  tetap teronggok di sudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta. Saya  melewatinya dengan lirikan kearah dalam kantong itu, dua pertiga terisi  tissue putih berbalut plastik transparan.
 Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati  mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum di wajah mereka  terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang menggayuti  langit Jakarta.
 "Terima kasih ya mbak … semuanya dua ribu lima ratus rupiah!" tukas  mereka, tak lama si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah  sepuluh ribu rupiah.
 "Maaf, nggak ada kembaliannya … ada uang pas nggak mbak?" mereka  menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan  sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah  mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.
 "Oom boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?" suaranya  mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka. Sedikit  terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa  kembalian food court sebesar empat ribu rupiah. "Nggak punya!", tukas  saya. Lalu tak lama si wanita berkata "Ambil saja kembaliannya, dik!"  sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya ke arah ujung sebelah  timur.
 Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya  dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya kegenggaman saya  yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk  memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget, setengah  berteriak ia bilang "Sudah buat kamu saja, nggak apa..apa ambil saja!",  namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. "Maaf mbak, cuma ada  empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan !"
 Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi  meninggalkannya. Tinggallah episode saya dan mereka. Uang sepuluh ribu  digenggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri  saya dan berujar "Om, bisa tunggu ya, saya ke bawah dulu untuk tukar  uang ke tukang ojek!"
"Eeh … nggak usah … nggak usah … biar aja … nih!" saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya, tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek. Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya, "Nanti dulu Om, biar ditukar dulu … sebentar."
"Nggak apa apa, itu buat kalian" lanjut saya. "Jangan … jangan oom, itu uang oom sama mbak yang tadi juga" anak itu bersikeras. "Sudah … saya ikhlas, mbak tadi juga pasti ikhlas !", saya berusaha membargain, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat.
"Eeh … nggak usah … nggak usah … biar aja … nih!" saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya, tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek. Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya, "Nanti dulu Om, biar ditukar dulu … sebentar."
"Nggak apa apa, itu buat kalian" lanjut saya. "Jangan … jangan oom, itu uang oom sama mbak yang tadi juga" anak itu bersikeras. "Sudah … saya ikhlas, mbak tadi juga pasti ikhlas !", saya berusaha membargain, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat.
 Secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari ke  arah saya. "Ini deh om, kalau kelamaan, maaf ..". Ia memberi saya  delapan pack tissue. "Buat apa?", saya terbengong "Habis teman saya lama  sih oom, maaf, tukar pakai tissue aja dulu". Walau dikembalikan ia  tetap menolak.
 Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya  kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya.  Beberapa saat saya mematung di sana, sampai si kecil telah kembali  dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari  tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah. "Terima kasih  Om!"..mereka kembali ke ujung jembatan sambil sayup sayup terdengar  percakapan, "Duit mbak tadi gimana ..?" suara kecil yang lain menyahut,  "Lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu lagi ntar kita kasihin …….".
 Percakapan itu sayup sayup menghilang, saya terhenyak dan kembali ke  kantor dengan seribu perasaan. Tuhan, hari ini saya belajar dari dua  manusia super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat  saya trenyuh, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya  sehalus sutra, mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka  berusaha tak meminta minta dengan berdagang tissue.
 Dua anak kecil yang bahkan belum balig, memiliki kemuliaan di umur  mereka yang begitu belia. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku  dimana-mana. Apa yang bukan milik kita, pantang untuk kita ambil.
--
Source: http://www.dunia-unik.com/2011/10/kisah-kejujuran-dua-bocah-penjual.html
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com
